Membahas tentang keunikan suatu daerah tentu saja tidak akan pernah ada habisnya. Identitas dan ciri khas akan menjadi satu-satunya tanda yang dapat dikenal oleh daerah lain. Di dalamnya meliputi tradisi, budaya dan juga adat istiadat yang secara turun temurun akan dilangsungkan oleh generasi selanjutnya. Sudah ratusan tahun dari nenek moyang sehingga sampai hari ini menjadi upaya sah di lingkungan tertentu. Baik sifatnya yang rasional atau kadang justru menjadi kontroversial (menurut pandangan daerah lain). Namun, hal itu justru membangun toleransi dan saling menghargai. Selian itu, juga tidak menjadikan suatu daerah yang bersangkutan akan mengalami kemerosotan, sebab tradisi dan semacamnya dalam lingkungan daerah bisa dikatakan sebagai rahmat dan hikmat dari Tuhan Yang Maha Esa.
Begitu juga di Indonesia, ada banyak sekali tradisi yang diusung oleh setiap daerah yang berbeda. Tidak bisa disebutkan satu persatu sebab dalam satu wilayah saja, kadang sudah ada beberapa tradisi yang tidak sama. Peribahasa bilang, “Lain ladang lain belalalang lain lubuk lain ikannya”. Dari peribahasa tersebut kita dapat mengartikan bahwa “lain tempat lain kebiasannya, lain daerah lain pula dengan adat istiadatnya”. Kita ambil satu contoh, dalam hal meminta hujan ketika musim kemarau panjang. Di wilayah Jawa Timur ada beberapa tradisi berbeda, nama berbeda, penyebutan berbeda, ritual berbeda dan dalam pelaksanaannya yang sudah pasti berbeda pula. Di Trenggalek, Blitar, Kediri dan Tulungagung dinamakan dengan Tradisi Tiban. Sementara di Gresik disebut dengan Selamatan Gunungsari. Sementara di Madura dikenal dengan nama Tradisi Ojung.
Bagi masyarakat yang tinggal di desa dengan mayoritas profesi sebagai petani, hujan menjadi satu satunya harapan ketika akan memulai musim tanam. Atau ketika sudah ada hujan dan petani mulai bercocok tanam namun tidak turun hujan lagi, juga akan menjadi persoalan baru. Sebab tanaman akan kering lalu akan mati. Karena tidak semua tempat ketersediaan air dapat tercukupi. Kita tahu bahwa keberlangsungan hidup masyarakat desa mayoritas memang mengandalkan dari hasil cocok tanam. Sementara fenomena yang terjadi, seringkali musim kemarau panjang menjadi hambatan dan menjadi keluhan di masyarakat desa. Sehingga, masyarakat melangsungkan beberapa ritual tertentu yang dipercaya dapat menjadi perantara turunnya hujan. Secara logika, memang kadang menjadi tanda tanya, utamanya bagi generasi muda. Namun, karena hal tersebut sudah mendarah daging, maka hingga hari ini tradisi tersebut tetap menjadi solusi bagi masyarakat yang khususnya berprofesi sebagai petani.
Di Madura ada enam tradisi tertulis yang sudah menjadi bahan kajian oleh beberapa pakar. Mulai dari akademisi, praktisi, budayawan dan lain sebagainya. Dari keenam tradisi tersebut yaitu: Karapan Sapi, Saronen, Tandhak, Rokat Tase’, Nyadhar, dan Ojung (ritual memanggil hujan). Dari empat kabupaten di Madura, hanya ada satu tradisi yang digelar dalam rangka meminta hujan di satu kabupaten, satu kecamatan dan satu desa yaitu di Desa Batu Putih Laok, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Tradisi Ojung sudah berlangsung sejak ratusan tahun lalu. Bahkan hingga saat ini tetap digelar untuk meneruskan ritual nenek moyang dan meminta hujan ketika kemarau panjang.
Sedangkan dalam pelaksaannya, Tradisi Ojung dikemas dalam kegiatan pertandingan olah fisik antara dua orang laki-laki yang dibekali dengan senjata khusus. Senjata tersebut bahannya dari rotan yang juga dilengkapi dengan pelindung diri antara kedua petarung yang berlaga tersebut. Pelindung yang digunakan meliputi: “bhukot” (pelindung kepala), "bhuncot” (sarung pendek yang dililitkan diperut) dan “tangkes” (pelindung tangan kiri yang tidak memegang senjata). Dalam pertandingan pasti ada peran wasit yang dibutuhkan, begitu juga dengan Tradisi Ojung ini, wasit juga menjadi bagian penting selama pertandingan berlangsung dalam dua ronde. Masyarakat di Batu Putih menyebut wasit dengan “bahbuto”.
Tradisi Ojung tidak semata-tama sebagai bentuk kekerasan karena saling pecut antar kedua orang yang berlaga. Sebab, mereka meyakini bahwa di dalamnya sudah terkandung nilai filosofi yang diciptakan oleh para leluhur dan memiliki makna penting, sehingga mereka merasa pantas untuk terus melanjutkan tradisi dan yang tidak kalah penting usai pertandingan tersebut, kedua belah pihak tidak akan saling dendam walaupun ada ketentuan sebagai pihak pemenang dan pihak yang kalah. Dari Tradisi Ojung tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa sesuatu yang eksotis akan memberikan makna lebih mendalam jika ditelusuri lebih jauh dan juga tidak dilihat dari sebatas menilai sampulnya saja. Selama hal tersebut tidak melanggar secara hukum baik agama maupun negara dan dinilai memiliki arti penting yang tidak merugikan pihak manapun, maka menjadi kewajiban generasi selanjutnya agar tetap dipertahankan sehingga tidak melupakan warisan para leluhur.
Oleh : Elok Andriani
17/11/20 12.58
0 Komentar