The Fallen of Red Manchester

 Oleh: Gashenda Nur Muhammad Farhan

The Fallen of Red Manchester
Sumber: https://stanceeblog.com/ole-gunnar-solskjaers-message-to-ed-woodward-about-liverpool-and-man-city/ 


Sepertinya saya bisa bilang bahwa diri saya tak bisa lepas dari hal yang berbau sepak bola dan saya juga tak bisa tidak menyukai atau membenci Real Madrid, klub jagoan saya. Membahas Real Madrid memang tak pernah ada habisnya memang, namun kali ini saya justru tergelitik membahas klub sepak bola dari Inggris yang jika mereka kalah, banyak netizen akan mencercanya. Iya benar, Manchester United.

Selepas pensiunnya Sir Alex Ferguson, The Red Devils seperti kapal tanpa nahkodanya, kehilangan arah. Selepas kepergiannya, tidak ada lagi manajer yang sekeras dirinya, terutama ketika beradu visi misi dengan manajemen. Bahkan Jose Mourinho yang dengan lantangnya memecat Jorge Valdano dari jabatan Direktur Teknik ketika di Real Madrid pun seperti menciut ketika menjabat sebagai manajer klub yang sudah 20 kali juara Liga Inggris tersebut. Masih cukup segar dalam ingatan ketika Mourinho membutuhkan bek sekaliber Harry Maguire (kala itu, kalau sekarang? Ah sudahlah! Kalian pasti tahu kan performanya selepas Piala Dunia 2018 yang memorable buat Three Lions itu?) dan Jan Vertonghen, ia justru diberikan Fred dan Diogo Dalot oleh manajemen.

Apa yang salah? Ya jelas, manajemen Manchester United dalam menjalankan roda klubnya yang terus berputar itu.

Saya jelas tidak memahami bagaimana perputaran uang di sepak bola bekerja, saya juga tak mengerti secara jelas bagaimana satu klub bisa mendapatkan profit atau mengalami kerugian. Tapi yang saya tahu, klub sekelas Manchester United yang brandingnya benar-benar bagus dan sering kali menempati posisi puncak Most Valuable Club versi Forbes itu sekarang mulai tergusur dengan kedigdayaan Real Madrid dan Barcelona. Menurut Forbes, Manchester United berada di posisi ketiga dengan 3.983 juta USD, dengan pendapatan sebesar 765 juta USD. Tapi justru keuntungannya berkurang 8% di tahun ini. Padahal di 2018, tahun ketika Jose Mourinho memenangkan Europa League, MU berhasil mengangkangi Real Madrid, sang juara Liga Champions, yang secara hadiah jauh lebih besar ketimbang kasta kedua ajang yang mempertemukan klub terbaik seantero Eropa itu.

Jika bicara soal angka, jelas tak ada habisnya karena dari segi penjualan, Manchester United masih menjadi magnet di muka bumi ini karena bejibunnya fans klub yang bermarkas di Old Trafford tersebut. Tapi jika bicara soal prestasi di lapangan? It’s so debatable. Asik banget buat diobrolin sama teman-teman cowok sambil nyeruput kopi dan makan odading. 

Masih cukup segar dalam ingatan ketika Manchester United kalah 6-1 melawan Tottenham Hotspur, tagar #OleOut mulai bergema di linimasa. Begitu pula performa lini pertahanan yang dihujat habis-habisan karena banyak menerima gol mudah, hujatan tersebut ditujukan kepada Maguire dan Lindelof, dua bek tengah mereka yang harga transfernya begitu mahal itu. Tapi setelah itu, Ole Gunnar Solksjaer, yang terbiasa menggunakan pola 4-2-3-1, mengganti formasi dengan menggunakan 4-4-2 berlian dan sepertinya pergantian formasi serta pendekatan gaya bermain yang lebih direct itu berhasil ketika membantai RB Leipzig yang merupakan salah satu semifinalis Liga Champions musim lalu dengan skor telak 5-0. Iya, 5! Lima gol melawan tim asuhan Julian Naglesmann yang kaya taktik itu. Secara hasil, Ole bisa dikatakan keluar dari lubang jarum.

Lalu, datanglah Arsenal yang begitu sulit mencetak gol di musim ini. Dan mereka kalah 1-0 via penalti Aubameyang. Performa Manchester United yang buruknya bukan main itu pun semakin disorot ketika melawan Basaksehir, juru kunci grup H yang berisikan MU, PSG dan Leipzig itu. Pertahanan mereka seperti sedang menggelar karpet merah untuk pemain-pemain tua Basaksehir seperti Demba Ba dan Edin Visca yang dibiarkan bebas menjebol gawang yang dijaga Dean Henderson.

Setelah pertandingan melawan Basaksehir, Ole Gunnar Solksjaer dihujat habis-habisan oleh para pundit sepak bola. Bahkan Roy Keane dan Rio Ferdinand, yang merupakan mantan rekannya di Manchester United itu, tak segan meluapkan kekesalannya melihat MU sekarang yang seperti kehilangan arah, terlalu bergantung pada Bruno Fernandes. 

Inkonsistensi menjadi teman akrab dari Manchester United. Kenapa? Apakah salah Ole? Enggak juga! Menurut saya, justru manajemennya yang bobrok. Bagi saya, Ed Woodwardlah yang harusnya menjadi kambing hitam, bukan Ole. Eks pelatih Malmo dan Cardiff City itu sebenarnya sudah berada di jalan yang benar. Bukan dia yang salah, Woodwardlah yang seharusnya ditendang. Padahal, Ole Gunnar Solksjaer sebenarnya masih bisa diberikan waktu satu tahun lagi, di tengah derasnya rumor pemecatannya dan Pochettino yang terus dihubungkan dengan klub yang sudah 3 kali juara Liga Champions itu. Kenapa? Karena saya masih melihat sedikit demi sedikit fighting spirit era Fergie mulai muncul ketika Ole mengemudikan United. Berbeda dengan zaman Van Gaal, Mou apalagi David Moyes.

Kenapa Ed Woodward? Karena dia yang mengatur operasional klub, dia lah yang menjadi dalang dari jatuhnya Manchester United. Selepas kepergian Fergie yang bisa dikatakan otoriter tapi berjalan baik, dia lah yang terus menerus mengatur penjualan dan pembelian pemain. Transfer yang ia lakukan pun kebanyakan tidak sesuai dengan kebutuhan klub. Sejak pembelian Van Persie, yang mengantar United meraih gelar ke 20, Woodward seakan tergiur untuk menjadikan Manchester United klub yang tak hanya jago di dalam lapangan, tapi juga bersinar di luar lapangan. Bisnis lah yang menjadi patokannya. Penjualan kaos, jumlah penonton yang terus meningkat dan tambahan sponsor membutakan Manchester United. Dan itu salah siapa? Ya, Sobat Warta bisa menyimpulkan sendiri. 

Berkali-kali sektor defensif menjadi sorotan, bukankah dengan segunungnya keuntungan yang diraih United seharusnya bisa digunakan untuk membeli bek yang kualitasnya di atas Maguire dan Lindelof? Tapi yang saya heran, dengan budget transfer yang cukup banyak itu, Woodward justru membeli Van De Beek. Iya sih mereka beli bek, Alex Telles, tapi kan dia bek sayap kiri. Di sana sudah ada Shaw dan Brandon Williams. Kedatangan Alex Telles justru menghambat perkembangan Williams yang bisa dikatakan pemain potensial tersebut. Bukankah harusnya Woodward menggunakan uangnya untuk menebus bek sekelas Kalidou Koulibaly (Napoli) dan Jose Gimenez (Atletico Madrid)? Atau mungkin, Upamecano (RB Leipzig)? Mungkin Maguire masih boleh diberi waktu, tapi sisa bek tengahnya? Waktumu sudah habis!

Seharusnya klub sebesar Manchester United memiliki direktur teknik, atau mereka yang mengoperasikan berjalannya klub, yang memahami soal sepak bola, bukan hanya bisnis. Lihat Sevilla, mereka memiliki Monchi, sosok direktur teknik cerdas yang mengetahui kebutuhan klubnya dan bisa membeli pemain dengan harga yang goyang setelah melihat pasar yang semakin tinggi harganya selepas kepindahan Neymar. Belum lagi klub-klub besar seperti Liverpool dan Manchester City, dua rival besar Manchester United, yang semakin pintar melihat pasar bursa transfer. Sementara Manchester United? Masih aja goyang dombret di linimasa dengan rumor yang akan selalu menjadi rumor.

Buat saya, Manchester United masih menjadi salah satu klub yang begitu ditakuti dan sering kali membuat iri dengan transfernya yang bagus dan akademinya yang terus menerus menjadi sorotan karena selalu bisa memberikan talenta hebat untuk klubnya. Tapi, jika masih dipegang Ed Woodward, jangan harap gelar Liga Inggris ke 21 bisa diraih dengan cepat. Mau masuk zona Liga Champions saja masih tertatih-tatih.

Posting Komentar

0 Komentar