Cerita dibalik Hari Pahlwanan, 10 November

Cerita dibalik Hari Pahlwanan, 10 November
Sumber : Tribunnews.com

Hari Pahlawan di Indonesia diperingati setiap Tanggal 10 November. Karena pada tanggal tersebut merupakan pecahnya pertempuran besar di Surabaya antara pejuang Indonesia dengan pasukan sekutu yaitu tentara Inggris yang memakan puluhan ribu korban jiwa yang sebagian besar merupakan rakyat sipil. Sebagai penghargaan atas pengorbanan ribuan warga dan pejuang yang telah gugur, ditetapkanlah hari pahlawan yang disahkan oleh Presiden Sukarno pada tanggal 16 Desember 1959 melalui keputusan Presiden No.316 Tahun 1959.

Pada tanggal 29 September 1945, Letnan Jenderal Philip Christison yang ditunjuk sebagai Komandan Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) tiba di Jakarta. Tugas AFNEI di Indonesia adalah untuk menghancurkan senjata Jepang, memulangkan tentara Jepang, membebaskan pasukan sekutu yang ditawan oleh Jepang dan mempertahankan keadaan sampai Indonesia diserahkan kembali kepada pemerintahan yang berkuasa. Sebelumnya, Inggris dan Belanda telah membuat sebuah kesepakatan yang isinya niat Inggris untuk membantu Belanda menguasai kembali Indonesia pada tanggal 24 Agustus 1945. Oleh karena itu dalam pendaratannya di Indonesia Inggris ikut membawa aparat Netherlands Indies Civil Administration (NICA) serta tentara dari Belanda. inilah penyebab pecahnya pertempuran antara pasukan Indonesia dengan Sekutu (Inggris) di berbagai tempat di Indonesia.

Pada tanggal 19 September 1945, tim Pemulangan Tawanan Perang Sekutu (RAPWI) salah satu tim bentukan AFNEI tiba di Surabaya. Kedatangan tim tersebut tidak disambut baik oleh pihak Indonesia karena tidak adanya koordinasi dengan pimpinan Indonesia yang ada di Surabaya. Tidak hanya itu, interniran dari seluruh penjuru Jawa pada saat itu juga belum tiba di Surabaya sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tugasnya. Yang membuat pihak Indonesia semakin tidak suka adalah karena tim RAPWI yang datang ternyata berisi wakil dari Belanda.

Untuk menjalankan misinya di Surabaya, sekutu mengerahkan Brigade Infanteri India ke-49 dengan kekuatan 4.000-6.000 pasukan di bawah komando Brigadir Mallaby. Brigade tersebut sampai di Surabaya tanggal 25 Oktober 1945, namun pasukan sekutu yang baru datang ini dilarang mendarat di surabaya karena pemimpin Indonesia yang ada di Jakarta belum memberi izin. Pada akhirnya terjadilah beberapa perundingan yang melibatkan pemimpin Indonesia di Surabaya dan pemimpin Sekutu. Dari kesepakatan tersebut Indonesia mengizinkan Inggris untuk memasuki kota dan menempati beberapa objek sesuai dengan tugasnya.

 

Pertempuran awal

Walaupun telah menyepakati penguasaan beberapa objek sesuai tugas, Inggris juga menduduki beberapa objek penting, seperti Kantor Pos Besar, Gedung BPM, pusat kereta api, pusat otomobil, Gedung Internatio. Bahkan, Inggris juga menahan beberapa tokoh pemuda. Tanggal 26 Oktober malam hari, Penjara Kalisosok diserbu oleh satu peleton yang dipimpim Kapten Shaw dengan tujuan membebaskan Kapten Huiyer (NICA). Inggris juga membebaskan tawanan Belanda lainnya yang dijadikan tawanan perang di kompleks Wonokitri.

Tanggal 27 Oktober situasi semakin bertambah buruk, saat sekutu menyebar leaflet yang isinya ultimatum agar Indonesia menyerah kepada Sekutu dalam waktu 48 jam atau ditembak. Leaflet itu disebarkan melalui pesawat di Surabaya dan beberapa kota lainnya. Hal ini memancing permusuhan warga surabaya terhadap Inggris hingga akhirnya muncul seruan untuk mengusir Inggris dari Surabaya di radio. Perang tidak dapat dihindari, kontak senjata pertama terjadi antara pasukan sekutu melawan pasukan pemuda PRISAI. Setelah itu pertempuran-pertempuran lanjutan pun mengikuti. Gabungan polisi, TKR, dan badan perjuangan lainnya melakukan serangan secara serentak ke pasukan sekutu di seluruh Surabaya. Pasukan Indonesia berusaha merebut tempat-tempat vital yang telah diduduki oleh Inggris.

Letnan Jenderal Chistison meminta Presiden Sukarno agar meredam situasi di Surabaya. Akhirnya presiden dan wakilnya bertolak ke Surabaya tanggal 29 Oktober untuk melakukan kesepakatan gencatan senjata. Mesipun sedang gencatan senjata, beberapa tempat masih terjadi pertempuran, seperti di Gedung Lindevetes dan Internatio. Namun kedatangan anggota Kontak Biro Inggris dan Indonesia di Lindevetes berhasil meredam situasi. Selanjutnya, mereka pergi ke Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah. Gedung tersebut dikepung para pemuda yang menuntut pasukan Inggris menyerahkan senjata. Karena Inggris menolak terjadilah tembak-menembak hingga menewaskan Brigadir Mallaby.

Setelah kematian Mallaby, Mountbatten Panglima Sekutu di Asia Tenggara, menyatakan akan menghukum orang Indonesia yang menyebabkan kematian Mallaby. Selain itu, Christison Panglima Sekutu di Indonesia juga memperingatkan rakyat Surabaya untuk menyerah. Tanggal 9 November 1945, Inggris kembali menyebarkan leaflet lewat udara berisi ultimatum bagi masyarakat Surabaya agar seluruh pemimpin gerakan muda, kepala polisi, serta petugas radio diminta menyerah kepada Inggris.

Presiden Sukarno sudah meminta Inggris membatalkan ultimatum tetapi gagal, akhirnya Pemerintah Pusat menyerahkan semuanya kepada Pemerintah Surabaya. Pada pukul 22.00, Gubernur Suryo menyatakan menolak ultimatum Inggris melalui radi. Pemerintah Surabaya juga berharap rakyat dan kekuatan perjuangan bersiap untuk menghadapi ancaman Inggris.

Sungkono sebagai Komandan BKR Kota Surabaya, mengundang seluruh unsur kekuatan rakyat untuk berkumpul di Markas BKR Kota Jalan Pregolan. Di saat yang bersamaan Bung Tomo melalui radio seddang membakar semangat rakyat Surabaya sekaligus menyatakan penolakan atas ultimatum Inggris. Bung Tomo juga memanggil pemuda dari berbagai kota di Surabaya serta Madura dan  mengajak para pemuda untuk datang membantu mempertahankan Surabaya.

Tanggal 10 November 1945, Inggris mulai menggempur Surabaya dari darat, laut dan udara. Pihak sekutu berdalih kalau operasi ini bertujuan untuk menyelamatkan interniran dan tawanan perang Inggris yang masih ditawan Indonesia. Sebaliknya para pejuang Indonesia berusaha mempertahankan kemerdekaan dan tidak mau memenuhi tuntutan dari pihak Inggris.

Pada awal pertempuran ini sekutu hanya menurunkan dua brigade Divisi India ke-5. Sementara itu pusat-pusat penting pemerintahan dijadikan target utama pemboman, seperti Markas Pertahanan Surabaya, Kantor Gubernur Surabaya, dan Markas Besar PRI terus menerus di bombardir oleh pihak Inggris baik dari udara maupun dari  laut.  Para pemuda mati-matian mempertahankan lini pertahanan pertama malam hari sampai akhirnya regu penolong yang terdiri dari para perempuan mulai melakukan evakuasi para korban yang jatuh dalam pertempuran. Pada pertempuran hari pertama, Inggris berhasil melumpuhkan lini pertahanan pertama Surabaya dan mengumpulkan sebanyak 3.500 interniran di sekitar Hotel Des Indes untuk dievakuasi.

 

Pertempuran akhir

Walaupun terdesak pada pertempuran hari pertama, para pemuda Surabaya tidak segera menyerah dan terus mempertahankan Surabaya hingga tiga minggu.

Masing-masing sektor dan lini pertahanan secara berangsur berhasil dilumpuhkan oleh tentara Inggris dengan mengerahkan kekuatan darat, udara, dan laut. Pada tanggal 11 November Inggris mulai melancarkan serangan ke viaduct selama tiga hari berturut-turut sehingga akhirnya lini pertahanan kedua dapat diduduki. Pada tanggal 26 November 1945, Wonokromo jatuh ke tangan Inggris.

Pertempuran akhir antara tentara Inggris dan rakyat Surabaya terjadi di daerah Gunung Sari yang merupakan basis pertahanan terakhir Surabaya. Gunung Sari sepenuhnya jatuh ke tangan Inggris pada tanggal 28 November 1945. Jatuhnya Gunung Sari menjadi tanda jatuhnya Surabaya secara keseluruhan ke tangan tentara Inggris. Hal ini sesuai dengan target Sekutu yang berencana menguasai Surabaya hingga batas Sungai Surabaya.

Meski demikian, buku Sejarah Nasional Indonesia VI (1993) mencatat, perlawanan secara sporadis masih berlangsung dan kemudian markas pertahanan Surabaya berpindah ke Desa Lebaniwaras atau terkenal dengan sebutan Markas Kali.

Dengan demikian, Pertempuran Surabaya terjadi kurang lebih tiga minggu atau tepatnya 18 hari jika dihitung dari tanggal 10 November 1945. Pertempuran Surabaya membuat Indonesia kehilangan banyak pasukan dan senjata, tetapi pengorbanan dan perjuangan menghasilkan simbol perjuangan Revolusi.

Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November dipilih bukan untuk mengenang kemenangan Sekutu, tetapi mengenang kegigihan dan semangat patriotisme bangsa Indonesia mempertahankan kemerdekaan dengan tidak tunduk terhadap Sekutu.

Pada sebuah Buku berjudul “Pertempuran Surabaya” (1985) karya Nugroho Notosusanto menyebut, Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran paling menegangkan dengan semangat patriotisme tinggi yang ditunjukkan bangsa Indonesia. Hal itu juga tergambar dari komentar Ricklefs dalam bukunya A History of Modern Indonesia Since C. 1200 bahwa Surabaya menjadi pertempuran paling sengit pada masa Revolusi. Pihak Inggris sendiri memandang pertempuran tersebut laksana inferno, neraka. Rencana Inggris untuk menguasai Surabaya paling lambat 26 November terlambat dua hari karena kegigihan para pejuang di Surabaya.

Meski pada awalnya Surabaya sempat secara keseluruhan jatuh ke tangan Inggris, Pertempuran Surabaya juga mengubah cara pandang Inggris dan Belanda terhadap Indonesia. Inggris semakin mulai mempertegas posisinya sebagai pihak yang netral, tak perlu mendukung Belanda. Di sisi lain, Belanda mulai menyadari perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia mendapatkan dukungan yang luas dari rakyat, tak seperti gambaran mereka selama ini, hanya berasal dari kelompok pengacau sporadis (ekstremis).


Penulis :

Yoga Budi Prasetya18.1.70401.1237

Reza Akbar Pahlevi 18.1.70401.1224

Posting Komentar

0 Komentar