Imlek, Sebuah Perayaan dan Doa Dari Agama Untuk Bangsa

 Oleh : Anisa Ningrum dan Elok Andriani


Sumber : Iniborneo.com

Indonesia memiliki banyak keberagaman unik dari berbagai sudut pandang dan menjadi salah satu alasan negeri ini kaya akan budaya, adat istiadat, sampai dengan perayaan-perayaan hari besar dari enam agama di Indonesia. Perayaan hari besar menjadi momentum yang disambut antusias oleh pemeluk agama di seluruh dunia. Begitu juga dengan di Indonesia, pemeluk agama Khonghucu salah satunya. Agama yang mayoritas dianut oleh kalangan masyarakan etnis Tionghoa. Sedangkan dalam perayaan hari besarnya adalah Tahun Baru Imlek yang digelar satu kali dalam setahun. Perayaan ini merupakan tradisi turun temurun sejak masa nenek moyang yang berasal dari China. Di China perayaan ini disebut dengan Chunjie atau Festival Musim Semi.

Imlek adalah tradisi bagi masyarakat etnis Tionghoa di seluruh dunia dan menjadi bagian ritual keagamaan sakral. Sebagaimana penyambutan perayaan sakral dalam agama lainnya, penyambutan Tahun Baru Imlek ini juga memiliki banyak sekali makna penting bagi masyarakat Tionghoa, salah satunya sebagai ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Tuhan (Tian) berikan dalam setahun dan harapan supaya kehidupan selanjutnya lebih baik dari sebelumnya. Dalam perayaan tersebut masyarakat Tionghoa tidak hanya melakukan kegiatan bagi-bagi angpao, pertunjukan barongsai, makan malam bersama, mengunjungi rumah sanak famili untuk saling mengucapkan Selamat Tahun Baru Cina, dan menyalakan kembang api, tetapi juga melakukan sembahyang dewa dan leluhur. Sedangkan dalam pemilihan warna yang dominan dipakai ketika masyarakat etnis Tionghoa merayakan Imlek identik dengan warna cerah. Dominasi warna merah ini dianggap sebagai warna yang melambangkan kebahagian, sedangkan warna putih atau hitam dianggap sebagai warna yang mengandung duka. Kita dapat lihat hal ini dari dekorasi rumah ataupun pakaian yang digunakan selama perayaan tersebut.

Namun, perayaan Tahun Baru Imlek ini sebelumnya pernah dilarang di Indonesia. Selama orde baru (masa pemerintahan presiden kedua RI Soeharto selama 32 tahun 1968-1999), mengeluarkan Inpres (instruksi presiden) Nomor 14/1967 yang melarang warga etnis Tionghoa merayakan secara umum semua hal yang menyangkut agama, kepercayaan dan adat istiadat berbau China. Masyarakat Tionghoa hanya boleh melakukan secara sembunyi-sembunyi di dalam rumah. Tetapi pada masa pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapus Inpres Nomor 14/1967 dan mencetuskan Inpres Nomor 6/2000 pada 17 Januari 2000, masyarakat etnis Tionghoa boleh menggelar perayaan Tahun Baru Imlek dan pada tahun 2002 disahkan sebagai libur nasional pada masa pemerintahan presiden Megawati Soekarnoputri. Oleh karena itu, sejak masa pemerintahan Abdurrahman Wahid hingga tahun ini perayaan Imlek memasuki angka ke dua puluh satu tahun.

Hal yang paling diingat setelah masyarakat Tionghoa mendapat kebebasan kembali dalam menggelar perayaan Tahun Baru Imlek adalah pesan yang pernah disampaikan Gus Dur, “Tidak penting apa pun agama atau sukumu, kalau kamu bisa berbuat baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu”. Sehingga tidak heran apabila kaum Tionghoa menilai sosok Gus Dur sebagai pahlawan di mata masyarakat etnis Tionghoa. Bahkan ketika perayaan Imlek ini dari etnis Tionghoa menyempatkan untuk mendoakan sosok alm. Gus Dur.

Perayaan Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai salah satu hari libur nasional layaknya hari libur nasional ketika perayaan hari besar lainnya di Indonesia. Misal, libur nasional karena perayaan hari raya Idul fitri untuk umat Muslim atau perayaan Hari Natal untuk agama Kristen dan sebagainya. Masyarakat Tionghoa melakukan perayaan Imlek selama 15 hari yang dihitung dari tanggal satu kalender Imlek dan diakhiri pada tanggal 15 melalui perayaan Cap Go Meh.

Cap Go Meh adalah hari perayaan kasih sayang versi China yang biasa dilakukan dengan menyalakan lentera dengan harapan akan mendapatkan kehidupan percintaan yang lebih baik. Tradisi ini sudah dirayakan 2000 tahun lalu sejak zaman Dinasti Han (206 sebelum Masehi – 25 Masehi) ketika Biksu Budha membawa lentera untuk ritual indah. Lentera tersebut kemudian diterbangkan sebagai simbol melepas nasib lalu yang buruk untuk menyambut nasib baik di masa yang akan mendatang. Oleh sebab itu Cap Go Meh identik dengan Lentera.

Perayaan Imlek memang pernah dilarang pada tahun 1968 - 1999 dan diperbolehkan kembali oleh Alm Gus Dur pada tahun 2000 dengan tujuan mempersatukan rakyat Indonesia tanpa membeda – bedakan ras, suku, dan agama berdasarkan Bhineka Tunggal Ika. Selain itu mengajarkan masyarakat Indonesia agar tidak melakukan diskriminasi dan juga memberikan kebebasan setiap masyarakat untuk merayakan hari raya sesuai agama yang mereka anut.

Posting Komentar

0 Komentar